Hati
seorang ibu yang mana yang tak akan merana, saat melihat buah hatinya terlihat
tersiksa karena sakit. Aku pernah menangis, terpukul, tersinggung (rada lebay nih..), karena
suamiku menganggap aku bereakasi terlalu berlebihan ketika hanif sakit. Suamiku
bilang reaksiku tidak baik untuk pertumbuhan Hanif ke depan. Baiklah, secara
logika itu benar, tapi hey.., logika? Kemana perginya logika?. Logika ibu telah
disabotase oleh sistem limbiknya. Jadi jangan bicara soal logika saat ibu
melihat ada yang tak beres dengan anaknya karena sekuat apapun ia, air matanya
tak akan mudah dibendungnya atau bahkan ia bisa melakukan tindakan diluar nalar, akal sehat,
atau apalah namanya ketika anaknya dalam bahaya.
Meski
begitu, meski aku tahu Hanif merana dalam sakitnya (merana? lagi-lagi itu terlalu hiperbola kata suamiku, ya... atau setidaknya itulah yang ditangkap oleh mata seorang ibu), tapi aku takkan pernah mau
menyerahkan Hanif langsung ke tangan dokter ketika ia sakit. Meski segala rasa
berkecamuk di batinku, segala kecemasan membentuk kabut hitam di benakku, namun Hanif tetap aku biarkan berjuang bersama “tentara” di tubuhnya dalam memerangi
kuman penyakit yang menyerangnya. Meski dalam kekhawatiran aku tak ingin begitu
cepat mengintervensi Hanif, aku sadarkan dan yakinkan diriku bahwa Hanif itu
tangguh, seperti yang diucapkan suamiku. Ya, meski hampir selalu aku berlinang
air mata ketika melihat Hanif dipuncak kritis setiap melawan kuman penyakit,
namun aku berjuang untuk tidak langsung menyerah pada obat dokter.
Yang
bisa aku lakukan untuk menenangkan diriku adalah memastikan taraf parahnya
penyakit Hanif seperti mengecek selalu suhu tubuhnya, memperhatikan setiap
pertanda yang timbul dan mencari tau sebanyak-banyaknya informasi tentang apa penyakitnya dengan searching di google atau
tanya ke teman, dan memastikan gizi dan asupan makanan yang bisa mengurangi
sumber atau penyebab sakitnya Hanif. Namun, maukah aku tunjukkan hal yang paling utama, yaitu asupan ASI
yang intensif, selain ASI dapat memenuhi kebutuhannya akan zat antibodi, ASI
juga akan menenangkan bayi yang sakit secara psikologis.
Kini Hanif telah 14 bulan dan bulan demi bulan naluriku, ketangguhan hanif semakin
diuji untuk terus dan harus mampu bertahan melawan kuman penyakit tanpa
intervensi antibiotic. Setiap hanif sukses berjuang dari sakitnya seolah matanya
berkata: “Lihatlah ibu anakmu yang tangguh ini bisa berjuang kan, tanpa antibiotic”.
No comments:
Post a Comment