“Bayi ibu kena kolik, jadi coba hindari dulu minum
susu beserta produk olahannya hingga 2 minggu, jika bayi tidak rewel berarti ia
intoleransi protein sapi atau intoleransi laktosa”, demikian kata dokter anak
menjelaskan penyebab rewel berkepanjangan hanif mulai dari jam 5 sore hingga
jam 10 pagi dengan durasi 3 jam sekali selama lebih dari 20 menit, rewelnya nga
tanggung-tanggung disertai teriakan histeris tanpa henti, muka memerah, dan
kaki dihentak-hentakkan, terlihat begitu kesakitan dan tersiksa (yang ibuku
bilang kayak di jepit pintu).
Istilah kolik ini pernah aku baca sepintas saat aku
mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang masa kehamilan dan bersalin.
Tapi sayangnya kala itu aku nga begitu terkonsentrasi dengan perawatan bayi dan
permasalahan seputar bayi setelah lahir. Karena nga ada keluhan yang aku dengar
dari ibu-ibu lain bahkan dari temanku yang telah melahirkan dan pada masa
perawatan bayi tentang kendala mereka, yang ada hanyalah tentang menakutkannya
proses persalinan dan seolah setelah itu, plong deh (atau aku kah yang melewatkan sinyal
itu karena terlalu focus pada masa kehamilan dan malahirkan ya?!).
Hanif mulai berperilaku seperti yang difenisikan
sebagai kolik itu, setelah berumur 2 minggu. Memang sebelum itu hari-hari
sebagai ibu begitu menyenangkan meskipun kurang tidur (menyusui 2 jam sekali
diselingi dengan pup dan pipis, trus nyusu lagi) setidaknya hanif tidak
menangis histeris tiap sebentar dan berlangsung lama.
Kolik hanif tampaknya memang karena intoleransi susu
sapi karena setiap aku makan yang ada kandungan susunya, mulailah hanif
menangis histeris. Saat itu jika aku masih cukup kuat aku akan mengendongnya
sambil dinyanyikan, jika aku sudah melemah tak berdaya maka hanif hanya aku
baringkan tengkurap di dadaku sambil aku elus punggungnya. Pemberian minyak
kayu putih, minyak telon, minyak adas, minyak bawang merah semua udahku coba
dan ternyata nga mempan. Dokter meresepkan enzim pencernaan tapi sulit sekali
obat itu bisa ditelan hanif dan itupun kadang manjur kadang enggak.
Hal terberat yang aku alami dimasa hanif kolik
adalah pengasuhan seorang diri, suamiku dinas di kota lain yang pulangnya 1
bulan sekali itupun hanya untuk beristirahat karena udah capek bekerja. Aku
tidak minta tolong orang tua ataupun sodara yang lain, di kamar tidur hanya ada
aku dan hanif. Hingga hanif berumur 55 hari aku sudah mulai down, lelah fisik
dan psikis. Aku yang mestinya bahagia telah melahirkan seorang bayi lucu yang hampir 1 tahun aku idam-idamkan malah membuatku sering menangis karena koliknya hampir-hampir serasa ingin menyiksa dan membunuh aku yang masih belum pulih dari proses persalinan. Ya, sindrome baby blue bagai sebuah paradoks pasca persalinan.
Hingga di hari ke 56 aku minta tolong ibuku untuk
beberapa saat mengendong hanif agar aku bisa sedikit beristirahat, tapi masih
nga bisa, kok rasanya selagi hanif masih nangis aku nga bisa tidur ya. Ibuku
udah nga sanggup bertahan di hari ke 59 dan hari ke 60 adalah hari pertama kami
pindah ke Padang. Total hanif mengalami kolik dengan tangisan histeris lebih
kurang 4 bulan dan setelah itu nga begitu interns dan nga terlalu lama, yang biasanya
berlangsung sepanjang malam.
No comments:
Post a Comment