Wednesday 26 December 2012

Hanif kolik : paradoks pasca persalinan

“Bayi ibu kena kolik, jadi coba hindari dulu minum susu beserta produk olahannya hingga 2 minggu, jika bayi tidak rewel berarti ia intoleransi protein sapi atau intoleransi laktosa”, demikian kata dokter anak menjelaskan penyebab rewel berkepanjangan hanif mulai dari jam 5 sore hingga jam 10 pagi dengan durasi 3 jam sekali selama lebih dari 20 menit, rewelnya nga tanggung-tanggung disertai teriakan histeris tanpa henti, muka memerah, dan kaki dihentak-hentakkan, terlihat begitu kesakitan dan tersiksa (yang ibuku bilang kayak di jepit pintu).  

Istilah kolik ini pernah aku baca sepintas saat aku mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang masa kehamilan dan bersalin. Tapi sayangnya kala itu aku nga begitu terkonsentrasi dengan perawatan bayi dan permasalahan seputar bayi setelah lahir. Karena nga ada keluhan yang aku dengar dari ibu-ibu lain bahkan dari temanku yang telah melahirkan dan pada masa perawatan bayi tentang kendala mereka, yang ada hanyalah tentang menakutkannya proses persalinan dan seolah setelah itu, plong deh (atau aku kah yang melewatkan sinyal itu karena terlalu focus pada masa kehamilan dan malahirkan ya?!). 

Hanif mulai berperilaku seperti yang difenisikan sebagai kolik itu, setelah berumur 2 minggu. Memang sebelum itu hari-hari sebagai ibu begitu menyenangkan meskipun kurang tidur (menyusui 2 jam sekali diselingi dengan pup dan pipis, trus nyusu lagi) setidaknya hanif tidak menangis histeris tiap sebentar dan berlangsung lama.

Kolik hanif tampaknya memang karena intoleransi susu sapi karena setiap aku makan yang ada kandungan susunya, mulailah hanif menangis histeris. Saat itu jika aku masih cukup kuat aku akan mengendongnya sambil dinyanyikan, jika aku sudah melemah tak berdaya maka hanif hanya aku baringkan tengkurap di dadaku sambil aku elus punggungnya. Pemberian minyak kayu putih, minyak telon, minyak adas, minyak bawang merah semua udahku coba dan ternyata nga mempan. Dokter meresepkan enzim pencernaan tapi sulit sekali obat itu bisa ditelan hanif dan itupun kadang manjur kadang enggak. 

Hal terberat yang aku alami dimasa hanif kolik adalah pengasuhan seorang diri, suamiku dinas di kota lain yang pulangnya 1 bulan sekali itupun hanya untuk beristirahat karena udah capek bekerja. Aku tidak minta tolong orang tua ataupun sodara yang lain, di kamar tidur hanya ada aku dan hanif. Hingga hanif berumur 55 hari aku sudah mulai down, lelah fisik dan psikis. Aku yang mestinya bahagia telah melahirkan seorang bayi lucu yang hampir 1 tahun aku idam-idamkan malah membuatku sering menangis karena koliknya hampir-hampir serasa ingin menyiksa dan membunuh aku yang masih belum pulih dari proses persalinan. Ya, sindrome baby blue bagai sebuah paradoks pasca persalinan.

Hingga di hari ke 56 aku minta tolong ibuku untuk beberapa saat mengendong hanif agar aku bisa sedikit beristirahat, tapi masih nga bisa, kok rasanya selagi hanif masih nangis aku nga bisa tidur ya. Ibuku udah nga sanggup bertahan di hari ke 59 dan hari ke 60 adalah hari pertama kami pindah ke Padang. Total hanif mengalami kolik dengan tangisan histeris lebih kurang 4 bulan dan setelah itu nga begitu interns dan nga terlalu lama, yang biasanya berlangsung sepanjang malam.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...